Jumat, 30 September 2011

TAFSIR AL BAQARAH 259




            Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata:` Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh? `Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya:` Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? `Ia menjawab:` Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari `. Allah berfirman:` Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berobah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya dengan daging `. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata:` Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu `. (QS. 2:259)




TAFSIR IBNU KATSIR

            Berhubungan dengan ayat sebelumnya 258, maka ayat 259, menurut Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib , ia berkata : "Ia adalah Uzair". Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Abbas, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, dan Sulaiman bin Buraidah. Pendapat inilah yang mahsyur. Dan negeri yang dimaksud adalah BAITUL MAQDIS.
Ia melintasi negeri itu setelah dihancurkan dan dibunuh penduduknya oleh Raja Bukhtanashar.

  وَهِيَ خَاوِيَةٌ "Yang temboknya roboh  menutupi atapnya", maksudnya tidak ada seorang pun di sana.


            Sedangkan firman Allah Ta'ala   عَلَى عُرُوشِهَا "Yang temboknya telah roboh menutupi atapnya artinya bangunan itu sudah runtuh dan temboknya telah roboh ke lantainya. Maka orang itu berdiri seraya berfikir tentang kejadian yang menimpa negeri itu beserta penduduknya, padahal sebelumnya negeri itu dipenuhi oleh bangunan-bangunan yang megah. 

            Ia pun berkata :    أَنَّىَ يُحْيِـي هَـَذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" , perkataan itu ia ucapkan setelah menyaksikan kerusakan dan kehancuran perkataan yang sangat parah serta tidak mungkin bisa kembali ramai seperti sediakala.


            Maka Allah Ta'ala berfirman : فَأَمَاتَهُ اللّهُ مِئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali.", Allah berfirman "Aku membangun kembali negeri itu setelah 70 tahun berlalu dari kematiannya, penduduknya berkumpul kembali dan Bani Israel telah kembali ke negeri tersebut. , ketika Allah membangkitkannya dari kematian. 
            Yang pertama kali dihidupkan Allah adalah kedua matanya, sehingga ia dapat melihat ciptaan Allah, bagaimana Dia menghidupkan kembali badannya, maka setelah ia hidup sempurna, Allah melalui Malaikat Nya bertanya :
 كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْماً أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ "Berapa lama kamu tinggal disini ? "Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." , yang demikian itu disebabkan kematiannya terjadi pada permulaan siang hari, kemudian ALlah Ta'ala membangkitkannya setelah seratus tahun pada akhir siang hari. Ketika ia melihat matahari masih bersinar, ia menyangka itu adalah matahari yang sama pada hari kematiannya., sehingga ia mengatakan "atau setengah hari".

 قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِئَةَ عَامٍ فَانظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah   وَانظُرْ إِلَى حِمَارِكَ dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); , maksudnya bagaimana Allah Ta'ala menghidupkan sedang engkau memperhatikan.

  وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِّلنَّاسِ "Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Maksudnya adalah sebagai dalil yang menunjukkan adanya hari akhir.

  وَانظُرْ إِلَى العِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali", artinya Allah mengangkat nya lalu menyusunnya satu persatu dengan yang lainnya. Dalam kitabnya al-Mustadrak , al Hakim meriwayatkan dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit , dari ayahnya bahwa Rasulullah Muhammad salallahu' alaihiwassalam pernah membaca ayat كَيْفَ نُنشِزُهَا membacanya dengan huruf "dza" kemudian ia mengatakan "Hadits tersebut berisnad shahih", akan tetapi tidak diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim.

 ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْماً "kemudian Kami membalutnya dengan daging." As-suddi dan ulama lainnya mengatakan'bahwa tulang belulang keledai orang itu berserakan di sekitarnya , baik di sebelah kanan maupun di sebelah kirinya. Kemudian ia memperhatikan tulang-tulang itu yang tampak jelas karena putihnya. Selanjutnya Allah Ta'ala mengirimkan angin untuk mengumpulkan kembali tulang dari segala tempat. Lalu Allah menyusunnya setiap tulang menjadi seekor keledai yang berdiri dengan tulang tanpa daging. Selanjutnya ALlah Ta'ala membungkusnya dengan daging, urat, pembuluh darah dan kulit. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh melalui kedua lubang hidung kedelai. Dan dengan izin Allah Azza Wajjala keledai itu bersuara. Semua peristiwa itu disaksikan oleh Uzair.


 قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Ia berkata "Aku yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu"artinya aku benar-benar mengetahui hal itu, aku telah menyaksikannya dengan kedua mataku. Dan aku adalah orang yang mengetahui hal itu daripada orang - orang lain se-zamanku.




TAFSIR DEPAG

            Dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan lain, yang juga bertujuan untuk membuktikan kekuasaan-Nya. Akan tetapi tokoh yang dikemukakannya dalam perumpamaan ini bukanlah seorang yang ingkar dan tidak percaya kepada kekuasaan-Nya, melainkan seorang yang pada mulanya masih ragu tentang kekuasaan Allah. Akan tetapi setelah melihat bukti-bukti yang nyata, maka ia beriman dengan sepenuh hatinya dan mengakui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. 
            Disebutkan bahwa orang itu pada suatu kali berjalan melalui suatu desa yang sudah merupakan puing-puing belaka. Bangunan-bangunannya sudah roboh, sehingga atap-atap yang jatuh ke tanah sudah tertimbun oleh reruntuhan dindingnya. Karena masih meragukan kekuasaan Allah swt., maka ketika ia menyaksikan puing-puing tersebut ia lalu berkata: "Apa mungkinkah Allah menghidupkan kembali desa yang telah roboh ini, dan mengembalikannya kepada keadaan semula?" 
            Keraguannya tentang kekuasaan Allah untuk dapat mengembalikan desa itu kepada keadaannya semula, dapat pula kita terapkan kepada sesuatu yang lebih besar dari masalah itu, yakni "kuasakah Allah untuk menghidupkan makhluk-Nya kembali di hari berbangkit setelah mereka semua musnah di hari kiamat?" 
            Oleh karena orang tersebut bukan orang kafir, melainkan seseorang yang masih berada dalam tingkat keragu-raguan tentang kekuasaan Allah swt., dan ia memerlukan bukti-bukti dan keterangan-keterangan, maka Allah telah berbuat sesuatu yang akan memberikan keterangan-keterangan dan bukti-bukti tersebut kepadanya. Kejadian tersebut adalah sebagai berikut: Setelah ia menemukan desa itu sunyi-sepi dan bangunan-bangunannya sudah menjadi puing, ia masih menemukan di sana pohon-pohon yang sedang berbuah. Lalu ia berhenti di suatu tempat, dan setelah menambatkan keledainya, maka ia mengambil buah-buahan itu dan dimakannya. Sesudah makan ia pun tertidur. Pada saat itu Allah swt. mematikannya, yaitu dengan mengeluarkan ruhnya dari jasadnya seratus tahun kemudian Allah swt. menghidupkan-Nya kembali dengan mengembalikannya seperti keadaan semula dan mengembalikan ruhnya kepadanya. Proses "menghidupkan kembali" ini berlangsung dengan cepat dan mudah, tanpa melalui masa kanak-kanak dan sebagainya. Sementara itu sisa makanan yang ditinggalkannya sebelum ia dimatikan, ternyata masih utuh dan tidak menjadi rusak, sedang keledainya sudah mati, tinggal tulang-belulang belaka. Setelah ia dihidupkan seperti semula, maka Allah mengajukan suatu pertanyaan kepadanya: "Sudah berapa lamakah kamu berada di tempat itu?" Allah swt. mengajukan pertanyaan itu adalah untuk menunjukkan kepadanya bahwa ia tidak dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk hal-ihwal dirinva sendiri. Hal ini telah ternyata benar. Orang itu menyangka bahwa ia berada di tempat itu barulah sebentar saja, yaitu sehari atau setengah hari saja. Sebab itu ia menjawab: "Aku berada di tempat ini baru sehari atau setengah hari saja." Lalu Allah menerangkan kepadanya bahwa ia telah berada di tempat itu seratus tahun lamanya. Kemudian Allah swt. menyuruhnya untuk memperhatikan sisa-sisa makanan dan minuman yang ditinggalkannya seratus tahun yang lalu yang masih utuh dan tidak rusak. Ini membuktikan kekuasaan Allah swt. sebab biasanya makanan menjadi rusak setelah dua atau tiga hari saja. Allah swt. juga menyuruhnya untuk memperhatikan keledainya yang telah menjadi tulang-belulang itu pada tempat itu. Kemudian Allah swt. memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menyusun tulang-tulang itu pada tempat dan susunannya semula. Sesudah itu diberi-Nya daging dan kulit serta alat tubuh lainnya serta dimasukan-Nya roh ke tubuh keledai itu sehingga ia hidup kembali. Setelah melihat kenyataan-kenyataan itu semua, maka orang tersebut menyatakan imannya dengan ucapan, "Sekarang aku yakin benar-benar bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu termasuk menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati." Dan berdasarkan keyakinan itu hilanglah keragu-raguan tentang hari berbangkit. 
            Dalam ayat ini Allah swt. tidak menjelaskan nama orang tersebut serta nama negeri yang dilalui itu yang dipentingkan dalam ayat ini adalah pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa itu. 
Bukti-bukti kekuasaan Allah swt. yang diperlihatkan dalam ayat ini adalah sebagai berikut: 

1.      Orang yang dihidupkan kembali setelah mati seratus tahun lamanya. Tulang-tulang keledainya menjadi bukti untuk memastikan bahwa keledainya itu benar-benar telah mati sejak waktu yang lama. Dan Allah swt. kuasa menghidupkannya kembali. 
2.      Sisa-sia makanan dan minumannya seratus tahun yang lalu ternyata masih utuh tentu saja atas kehendak dan kekuasaan Allah swt. Ini membuktikan kekuasaan-Nya sebab dalam keadaan biasa, makanan dan minuman akan rusak setelah beberapa hari. Atau makanan itu memang telah rusak tetapi Allah swt. dapat mengembalikannya seperti semula. Inipun menjunjukkan kekuasaan-Nya. 
3.      Keledainya yang telah lama mati dan tinggal tulang-belulang belaka oleh Tuhan dihidupkan kembali seperti semula. Dan hal ini dilakukan dihadapan mata orang tersebut agar dapat disaksikannya dengan nyata. 
            Semua hal itu merupakan bukti-bukti yang nyata tentang kekuasaan Allah dan bahwa Allah swt. kuasa menciptakan sesuatu dan kuasa pula untuk mengulangi kejadian makhluk-Nya itu. Maka sirnalah segala macam syubhat dan keragu-raguan dan timbullah keyakinan yang kokoh tentang keesaan dan kekuasaan Allah. Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk membangkitkan dan menghidupkan kembali makhluk-Nya di akhirat sesudah kiamat.





TAFSIR JALALAIN

(Atau) tidakkah kamu perhatikan (orang) 'kaf' hanya tambahan belaka (yang lewat di suatu negeri). Orang itu bernama Uzair dan lewat di Baitulmakdis dengan mengendarai keledai sambil membawa sekeranjang buah tin dan satu mangkuk perasan anggur (yang temboknya telah roboh menutupi atap-atapnya), yakni setelah dihancurkan oleh raja Bukhtanashar. (Katanya, "Bagaimana caranya Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah robohnya?") disebabkan kagumnya akan kekuasaan-Nya (Maka Allah pun mematikan orang itu) dan membiarkannya dalam kematian (selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya). Untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana caranya demikian itu. (Allah berfirman) kepadanya, (Berapa lamanya kamu tinggal di sini?) (Jawabnya, "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari) karena ia mulai tidur dari waktu pagi, lalu dimatikan dan dihidupkan lagi di waktu Magrib, hingga menurut sangkanya tentulah ia tidur sepanjang hari itu. (Firman Allah swt., "Sebenarnya sudah seratus tahun lamanya kamu tinggal; lihatlah makanan dan minumanmu itu) buah tin dan perasan anggur (yang belum berubah) artinya belum lagi basi walaupun waktunya sudah sekian lama. 'Ha' pada 'yatasannah' ada yang mengatakan huruf asli pada 'sanaha', ada pula yang mengatakannya sebagai huruf saktah, sedangkan menurut satu qiraat, tidak pakai 'ha' sama sekali (dan lihatlah keledaimu) bagaimana keadaannya. Maka dilihatnya telah menjadi bangkai sementara tulang belulangnya telah putih dan berkeping-keping. Kami lakukan itu agar kamu tahu, (dan akan Kami jadikan kamu sebagai tanda) menghidupkan kembali (bagi manusia. Dan lihatlah tulang-belulang) keledaimu itu (bagaimana Kami menghidupkannya) dibaca dengan nun baris di depan. Ada pula yang membacanya dengan baris di atas kata 'nasyara', sedang menurut qiraat dengan baris di depan berikut zai 'nunsyizuha' yang berarti Kami gerakkan dan Kami susun, (kemudian Kami tutup dengan daging) dan ketika dilihatnya tulang-belulang itu sudah tertutup dengan daging, bahkan telah ditiupkan kepadanya roh hingga meringkik. (Maka setelah nyata kepadanya) demikian itu dengan kesaksian mata (ia pun berkata, "Saya yakin") berdasar penglihatan saya (bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu"). Menurut satu qiraat 'i`lam' atau 'ketahuilah' yang berarti perintah dari Allah kepadanya supaya menyadari.






dikutip : http://adf.ly/2y5jD & http://adf.ly/2y5ks

Adab Menuntut Ilmu


Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan dalam menuntut ilmu itu ada beberapa ada yang harus diperhatikan, berikut di antaranya.


BEBERAPA ADAB MENUNTUT ILMU
1. Mengikhlaskan niat karena Allah ta’âlâ.
2. Berdoa kepada Allah ta’âlâ supaya mendapatkan taufiq dalam menuntut ilmu.
3. Bersemangat (antusias) untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu.
4. Berusaha semaksimal mungkin untuk menghadiri kajian-kajian ilmu.
5. Apabila ada seseorang yang datang belakangan di tempat kajian hendaknya tidak mengucapkan salam apabila dapat memotong pelajaran yang berjalan, kecuali kalau tidak mengganggu maka mengucapkan salam itu sunnah. (Pendapat Syaikh al-Utsaimin dalamFatawa Islamiyyah:, jilid 1, hlm. 170)
6. Tidak mengamalkan ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya barakah ilmu. Allah ta’âlâ mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya dalam firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. ash-Shaf: 2-3)
Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Tidaklah aku menulis satu hadits pun dari Nabi n, kecuali telah aku amalkan, sampai ada hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam kemudian memberikan Abu Thaybah satu dinar,[1] maka aku pun memberi tukang bekam satu dinar tatkala aku dibekam.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 14)
7. Merasa sedih tatkala ada masyayikh yang sezaman tapi tidak sempat bertemu, serta mencontoh adab dan akhlak mereka.
al-Khalal meriwayatkan akhlak Imam Ahmad rahimahullahu dari Ibrahim, ia berkata: “Apabila mereka mendatangi seseorang yang akan mereka ambil ilmunya, mereka memperhatikan shalat, kehormatan dan gerak-gerik serta tingkah lakunya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.
Dan dari al-A’masy rahimahullahu berkata, “Orang dahulu belajar kepada ahli fikih tentang semua hal termasuk pakaian dan sandalnya. (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 145)
9. Kontinyu (konsisten) untuk hadir dan tidak malas.
10. Tidak berputus asa dan mencela diri (merendahkan diri). Hendaknya ingat firman Allah ta’âlâ:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl: 78)
Terlebih apabila kesulitan dalam mempelajari sesuatu.
11. Membaca kitab-kitab yang berkaitan dengan thalabul ilmi dan mempelajari metode yang benar dalam menuntut ilmu, serta berusaha mengetahui kekurangan dan kesalahan yang ada pada dirinya.
12. Antusias untuk hadir lebih awal dan mempergunakan waktu dengan baik.
13. Berusaha melengkapi pelajaran yang terlewatkan.
14. Mencatat faedah pada halaman depan atau buku catatan.
15. Berusaha keras untuk mengulang-ulang faedah yang telah didapatkan.
16. Tidak melemparkan kitab ke tanah.
Ada seseorang yang melakukan itu di hadapan Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau marah seraya mengatakan, “Beginikah kamu memperlakukan ucapan orang-orang baik?” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 389)
17. Tidak memotong perkataan guru sampai beliau menyelesaikannya.
Imam al-Bukhari berkata: Bab barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, sedangkan dia sibuk berbicara, maka selesaikan dulu permbicaraannya. Kemudian beliau membawakan hadits:
أَنَّ أَعْرَابِياًّ قَالَ وَالنَّبِيُّ يَخْطُبُ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى الرَّسُوْلُ فِي حَدِيْثِهِ وَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْثَهُ قَالَ: أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟
Ada seorang Arab Badui bertanya kapan hari kiamat tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melanjutkan khutbahnya dan berpaling dari orang itu, tatkala Nabi menyelesaikan khutbahnya, kemudian bertanya: “Dimana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat.” (al-Fath, jilid 1, hlm. 171)
18. Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163)
19. Sopan tatkala mengajukan pertanyaan kepada guru, tidak menanyakan sesuatu yang dibuat-buat atau berlebihan atau menanyakan sesuatu yang sudah tahu jawabannya dengan tujuan supaya gurunya tidak mampu menjawab dan menunjukkan bahwa dia tahu jawabannya, atau menanyakan sesuatu yang belum terjadi, dimana salafush shalih mencela hal seperti ini apabila pertanyaan itu dibuat-buat. (Tahdzib at-Tahdzib, jilid 8, hlm. 274, as-Siyar, jilid 1, hlm. 398)
20. Membaca biografi para ulama.
21. Membaca topik dan tema yang berbeda sebelum tiba waktunya. Seperti Ramadhan dan hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa, sepuluh awal dzulhijah dan kurban.
22. Antusias untuk membeli kitab-kitab yang khusus membahas permasalahan-permasalahan fikih. Seperti kitab yang berkaitan dengan sunnah-sunnah Rawatib atau qiyamullail, dll.
23. Memprioritaskan hal-hal yang utama dalam menuntut ilmu.
24. Memulai dengan yang lebih penting.
Sebagaimana petunjuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memulai yang lebih penting yang beliau lakukan dengan tujuan itu. Oleh karena itu tatkala ‘Utban bin Malik memanggil Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seraya berkata kepada beliau, “Aku ingin Anda datang untuk shalat di rumahku, supaya aku jadikan tempat itu menjadi mushalla”, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar beserta beberapa orang sahabatnya.
Tatkala sampai di rumah ‘Utban, mereka meminta izin untuk masuk, kemudian mereka masuk, dan ‘Utban telah membuatkan makanan untuk mereka, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak makan terlebih dahulu, bahkan berkata: “Dimana tempat yang ingin kamu jadikan mushalla itu?” kemudian diperlihatkan kepada beliau, kemudian beliau shalat, setelah itu baru duduk untuk menyantap hidangan. (HR. al-Bukhari, no. 425 & 667, Muslim, no. 263 dan disebutkan juga oleh Syaikh al-Utsaimin rahimahullahu dalam Syarh Riyadhu ash-Shalihin, jilid 3, hlm. 98)
25. Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala menyebutnya.
26. Mengucapkan radhiyallahu ‘anhum (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ) kepada para sahabat tatkala menyebut mereka.
27. Mengucapkan rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ) kepada para ulama tatkala menyebut mereka.
28. Tidak menyandarkan hadits kepada selain Imam al-Bukhari dan Imam Muslim apabila hadits itu ada pada keduanya atau salah satu dari keduanya.

29. Menyandarkan faedah kepada yang empunya.
30. Tidak meremehkan faedah walaupun sedikit.
31. Tidak menyembunyikan faedah.
32. Tidak mempergunakan dalil hadits dhaif atau maudhu’.
33. Tidak mendhaifkan hadits, kecuali setelah meneliti an menanyakan kepada ahlinya.
34. Tidak mengacuhkan permasalahan-permasalahan yang ditanyakan kepada dirinya, karena itu dapat mendorong anda untuk meneliti dan menggali lebih dalam masalah itu.
35. Membawa buku catatan kecil untuk mencatat faedah-faedah dan berbagai macam permasalahan.
36. Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah.
37. Tidak menyibukkan diri dengan memperbanyak manuskrip atau satu buku yang berbeda penerbitnya, terkecuali ada faedahnya.
38. Tidak terburu-buru dalam memahami ucapan, baik yang tertulis atau yang terdengar. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dari Ayub as-Sakhtiyani rahimahullahu, “Apabila ia mengulangi soal itu sama seperti awal, maka ia jawab, kalau tidak maka beliau pun tidak menjawabnya.” (I’lam al-Muwaqi’in 2/187)
39. Banyak membaca kitab-kitab tentang fatwa-fatwa.
40. Tidak terburu-buru untuk menafikan secara umum.
41. Hindari penggunaan lafadz-lafadz pengagungan untuk memuji diri sendiri.
42. Terimalah kritikan dan nasihat dengan lapang dada bukan karena basa basi.
43. Tidak sedih dan patah semangat karena sedikitnya orang yang belajar darinya. Imam adz-Dzahabi menyebutkan biografi Atha’ bin Abi Rabah bahwasanya dia, tidak ada yang duduk bersamanya (dalam menuntut ilmu –pent) kecuali sembilan atau delapan orang saja. (Siyar A’lam an-Nubala` 8/107)
44. Tidak menghabiskan waktu untuk membahas perkara-perkara yang tidak bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil lagi aneh, seperti warna anjng Ashabul Kahfi, pohon yang Nabi Adam p memakan buah darinya, dan panjang kapal Nabi Nuh p, dll.
45. Tidak berlebih-lebihan dalam merangkai kata-kata dan menjelaskan ucapan serta tidak mempergunakan ibarat dan istilah yang asing.
46. Tidak berbicara tanpa ilmu, dan tidak merasa kesal jika pertanyaannya tidak dijawab.
47. Tidak terpengaruh dengan celaan pribadi apabila agamamu selamat, dan ingatlah ucapan penyair:
وَإِنْ بُلِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَقَ لَهُ فَكُنْ كَأَنَّكَ لَمْ تَسْمَعْ وَلَمْ يَقُلْ
Apabila engkau diuji dengan orang yang tidak baik
Maka bersikaplah seolah-olah engkau tidak mendengarnya dan dia tidak berkata
48. Tidak berputus asa.
49. Semangat dalam menjalankan shalat malam.
50. Tidak banyak bicara, istirahat dan tidur dalam menuntut ilmu.
51. Secara khusus thalibul ilmi dan secara umum seorang muslim:
a. Memenuhi kebutuhan orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
اِشْفَعُوْا تُؤْجَرُوْا.
Berilah syafaat niscaya kalian dapat pahala. (HR. al-Bukhari)
b. Menepati janji. Allah memuji para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya etntang Nabi Ismail :

Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya. (QS. Maryam: 54)
c. Bijaksana, sabar dan lemah lembut. Allah ta’âlâ berfirman:
Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’raf: 199)
As-Sam’ani rahimahullahu menyebutkan dalam kitab al-Ansab, adz-Dzahabi dalam kitab Tajrid ash-Shahabah, tentang biografi Auf bin Nu’man, berkata: Di masa jahiliyah dahulu dia lebih senang untuk mati dalam kondisi kehausan dari pada mati dalam kondisi ingkar janji, sebagaimana disebutkan:
إِذَا قُلْتَ فِي شَيْءٍ نَعَمْ فَأَتِمَّهُ فَإِنَّ نَعَمْ دَيْنٌ عَلَى الْحُرِّ وَاجِبُ
وَإِلاَّ فَقُلْ لاَ وَاسْتَرِحْ وَأَرِحْ بِهَا لِئَلاَّ يَقُوْلَ النَّاسُ: إِنَّكَ كَاذِبُ
Apabila anda telah mengatakan ‘ya’ maka laksanakanlah
Karena ucapan ‘ya’ adalah hutang yang harus di lunasi
Kalau tidak mampu katakanlah ‘tidak’ dan istirahatlah
Supaya orang lain tidak mengatakan anda pendusta
d. Tawadhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.
Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bertawadhu’, supaya tidak ada yang membanggakan dan menyombongkan diri. (HR. Muslim)
e. Gembira, lapang dada, dan mau mendengarkan problema orang lain.
f. Mengajak bicara dan memberi nasihat kepada manusia.
‘Ikrimah rahimahullahu mengatakan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : “Nasihati manusia satu jum’at sekali, jikalau mau maka dua kali, jika mau maka tiga kali, jangan bikin mereka bosan dengan al-Qur`an dan jangan mendatangi mereka tatkala sedang dalam urusannya dan kau sela pembicaraannya, sehingga mereka merasa jemu, akan tetapi diamlah, jikalau mereka meminta, maka nasihati karena mereka menginginkannya dan hindari olehmu sajak dalam berdoa, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. (HR. al-Bukhari, no. 6337)
g. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata:
حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ.
“Ajaklah bicara manusia dengan apa yang mereka ketahui.”
Disitu ada dalil, seyogyanya sesuatu yang tidak jelas tidak di sampaikan ke khalayak ramai, dan hendaknya berkata sesuai dengan apa yang dipahami orang lain, juga ucapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau ajak bicara satu kaum yang tidak dapat dipahami oleh mereka karena tu dapat menimbulkan fitnah.” (HR. Muslim)
[1] Muttafaq ‘alaih.

dikutip : http://adf.ly/2y186


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India